Tuntunan Shalat Sunnah Rawatib
.... “Barangsiapa
yang menjaga (sholat) empat rakaat sebelum dzuhur dan empat rakaat sesudahnya,
Allah haramkan baginya api neraka“. (HR. Ahmad 6/325, Abu Dawud no. 1269,
At-Tarmidzi......
Sesungguhnya
diantara hikmah dan rahmat Allah atas hambanya adalah disyariatkannya
At-tathowwu’ (ibadah tambahan). Dan dijadikan pada ibadah wajib diiringi dengan
adanya at-tathowwu’ dari jenis ibadah yang serupa. Hal itu dikarenakan untuk
melengkapi kekurangan yang terdapat pada ibadah wajib.
Dan sesungguhnya at-tathowwu’ (ibadah
sunnah) di dalam ibadah sholat yang paling utama adalah sunnah rawatib. Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam senantiasa mengerjakannya dan tidak pernah sekalipun
meninggalkannya dalam keadaan mukim (tidak bepergian jauh).
Mengingat pentingnya ibadah ini,
serta dikerjakannya secara berulang-ulang sebagaimana sholat fardhu, sehingga
saya (penulis) ingin menjelaskan sebagian dari hukum-hukum sholat rawatib
secara ringkas:
1. Keutamaan Sholat Rawatib
Ummu Habibah radiyallahu ‘anha telah
meriwayatkan sebuah hadits tentang keutamaan sholat sunnah rawatib, dia berkata:
saya mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
yang sholat dua belas rakaat pada siang dan malam, maka akan dibangunkan
baginya rumah di surga“. Ummu Habibah berkata: saya tidak pernah
meninggalkan sholat sunnah rawatib semenjak mendengar hadits tersebut. ‘Anbasah
berkata: Maka saya tidak pernah meninggalkannya setelah mendengar hadits
tersebut dari Ummu Habibah. ‘Amru bin Aus berkata: Saya tidak pernah
meninggalkannya setelah mendengar hadits tersebut dari ‘Ansabah. An-Nu’am bin
Salim berkata: Saya tidak pernah meninggalkannya setelah mendengar hadits
tersebut dari ‘Amru bin Aus. (HR. Muslim no. 728).
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha
telah meriwayatkan sebuah hadits tentang sholat sunnah rawatib sebelum
(qobliyah) shubuh, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau
bersabda, “Dua rakaat sebelum shubuh lebih baik dari dunia dan seisinya“.
Dalam riwayat yang lain, “Dua raka’at sebelum shubuh lebih aku cintai
daripada dunia seisinya” (HR. Muslim no. 725)
Adapun sholat sunnah sebelum shubuh
ini merupakan yang paling utama di antara sholat sunnah rawatib dan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkannya baik ketika mukim (tidak
berpegian) maupun dalam keadaan safar.
Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha
telah meriwayatkan tentang keutamaan rawatib dzuhur, dia berkata: saya
mendengar rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa
yang menjaga (sholat) empat rakaat sebelum dzuhur dan empat rakaat sesudahnya,
Allah haramkan baginya api neraka“. (HR. Ahmad 6/325, Abu Dawud no. 1269,
At-Tarmidzi no. 428, An-Nasa’i no. 1814, Ibnu Majah no. 1160)
2. Jumlah Sholat Sunnah Rawatib
Hadits Ummu Habibah di atas
menjelaskan bahwa jumlah sholat rawatib ada 12 rakaat dan penjelasan hadits 12
rakaat ini diriwayatkan oleh At-Tarmidzi dan An-Nasa’i, dari ‘Aisyah radiyallahu
‘anha, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Barangsiapa
yang tidak meninggalkan dua belas (12) rakaat pada sholat sunnah rawatib, maka
Allah akan bangunkan baginya rumah di surga, (yaitu): empat rakaat sebelum
dzuhur, dan dua rakaat sesudahnya, dan dua rakaat sesudah maghrib, dan dua
rakaat sesudah ‘isya, dan dua rakaat sebelum subuh“. (HR. At-Tarmidzi no. 414, An-Nasa’i no. 1794)
3. Surat yang Dibaca pada Sholat Rawatib Qobliyah Subuh
Dari Abu Hurairah radiyallahu
‘anhu, “Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada
sholat sunnah sebelum subuh membaca surat Al Kaafirun (قل يا أيها الكافرون)
dan surat Al Ikhlas (قل هو الله أحد).” (HR. Muslim no. 726)
Dan dari Sa’id bin Yasar,
bahwasannya Ibnu Abbas mengkhabarkan kepadanya: “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam pada sholat sunnah sebelum subuh dirakaat pertamanya
membaca: (قولوا آمنا بالله وما أنزل إلينا) (QS. Al-Baqarah: 136), dan
dirakaat keduanya membaca: (آمنا بالله واشهد بأنا مسلمون) (QS. Ali
Imron: 52). (HR. Muslim no. 727)
4. Surat yang Dibaca pada Sholat Rawatib Ba’diyah Maghrib
Dari Ibnu Mas’ud radiyallahu
‘anha, dia berkata: Saya sering mendengar Rasulullah shallalllahu
‘alaihi wa sallam ketika beliau membaca surat pada sholat sunnah sesudah
maghrib:” surat Al Kafirun (قل يا أيها الكافرون) dan surat Al Ikhlas (قل
هو الله أحد). (HR. At-Tarmidzi no. 431, berkata Al-Albani: derajat hadits
ini hasan shohih, Ibnu Majah no. 1166)
5. Apakah Sholat Rawatib 4 Rakaat Qobiyah Dzuhur Dikerjakan dengan
Sekali Salam atau Dua Kali Salam?
As-Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah
berkata: “Sunnah Rawatib terdapat di dalamnya salam, seseorang yang sholat
rawatib empat rakaat maka dengan dua salam bukan satu salam, karena
sesungguhnya nabi bersabda: “Sholat (sunnah) di waktu malam dan siang
dikerjakan dua rakaat salam dua rakaat salam”. (Majmu’ Fatawa As-Syaikh
Al-Utsaimin 14/288)
6. Apakah Pada Sholat Ashar Terdapat Rawatib?
As-Syaikh Muammad bin Utsaimin rahimahullah
berkata, “Tidak ada sunnah rawatib sebelum dan sesudah sholat ashar, namun
disunnahkan sholat mutlak sebelum sholat ashar”. (Majmu’ Fatawa As-Syaikh
Al-Utsaimin 14/343)
7. Sholat Rawatib Qobliyah Jum’at
As-Syaikh Abdul ‘Azis bin Baz rahimahullah
berkata: “Tidak ada sunnah rawatib sebelum sholat jum’at berdasarkan pendapat
yang terkuat di antara dua pendapat ulama’. Akan tetapi disyari’atkan bagi kaum
muslimin yang masuk masjid agar mengerjakan sholat beberapa rakaat semampunya”
(Majmu’ Fatawa As-Syaikh Bin Baz 12/386&387)
8. Sholat Rawatib Ba’diyah Jum’at
Dari Abu Hurairah radiyallahu
‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila
seseorang di antara kalian mengerjakan sholat jum’at, maka sholatlah sesudahnya
empat rakaat“. (HR. Muslim no. 881)
As-Syaikh Bin Baz rahimahullah
berkata, “Adapun sesudah sholat jum’at, maka terdapat sunnah rawatib
sekurang-kurangnya dua rakaat dan maksimum empat rakaat” (Majmu’ Fatawa
As-Syaikh Bin Baz 13/387)
9. Sholat Rawatib Dalam Keadaan Safar
Ibnu Qayyim rahimahullah
berkata, “Rasulullah shallallahu a’laihi wa sallam didalam safar
senantiasa mengerjakan sholat sunnah rawatib sebelum shubuh dan sholat sunnah
witir dikarenakan dua sholat sunnah ini merupakan yang paling utama di antara
sholat sunnah, dan tidak ada riwayat bahwasannya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengerjakan sholat sunnah selain keduanya”. (Zaadul
Ma’ad 1/315).
As-Syaikh Bin Baz rahimahullah
berkata: “Disyariatkan ketika safar meninggalkan sholat rawatib kecuali sholat
witir dan rawatib sebelum subuh”. (Majmu’ Fatawa 11/390).
10. Tempat Mengerjakan Sholat Rawatib
Dari Ibnu Umar radiyallahu
‘anhuma berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Lakukanlah
di rumah-rumah kalian dari sholat-sholat dan jangan jadikan rumah kalian bagai
kuburan“. (HR. Bukhori no. 1187, Muslim no. 777)
As-Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah
berkata: “Sudah seyogyanya bagi seseorang untuk mengerjakan sholat rawatib di
rumahnya…. meskipun di Mekkah dan Madinah sekalipun maka lebih utama dikerjakan
dirumah dari pada di masjid Al-Haram maupun masjid An-Nabawi; karena saat Nabi shallallahu
a’alihi wasallam bersabda sementara beliau berada di Madinah….. Ironisnya
manusia sekarang lebih mengutamakan melakukan sholat sunnah rawatib di masjidil
haram, dan ini termasuk bagian dari kebodohan”. (Syarh Riyadhus Sholihin,
3/295)
11. Waktu Mengerjakan Sholat Rawatib
Ibnu Qudamah berkata: “Setiap sunnah
rawatib qobliyah maka waktunya dimulai dari masuknya waktu sholat fardhu hingga
sholat fardhu dikerjakan, dan sholat rawatib ba’diyah maka waktunya dimulai
dari selesainya sholat fardhu hingga berakhirnya waktu sholat fardhu tersebut
“. (Al-Mughni 2/544)
12. Mengganti (mengqodho’) Sholat Rawatib
Dari Anas radiyallahu ‘anhu
dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa
yang lupa akan sholatnya maka sholatlah ketika dia ingat, tidak ada tebusan
kecuali hal itu“. (HR. Bukhori no. 597, Muslim no. 680)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata: “Dan hadits ini meliputi sholat fardhu, sholat malam, witir, dan
sunnah rawatib”. (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah, 23/90)
13. Mengqodho’ Sholat Rawatib Di Waktu yang Terlarang
Ibnu Qoyyim berkata: “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam meng-qodho’ sholat ba’diyah dzuhur setelah ashar,
dan terkadang melakukannya terus-menerus, karena apabila beliau melakukan
amalan selalu melanggengkannya. Hukum mengqodho’ diwaktu-waktu terlarang
bersifat umum bagi nabi dan umatnya, adapun dilakukan terus-menerus pada waktu
terlarang merupakan kekhususan nabi”. (Zaadul Ma’ad 1/308)
14. Waktu Mengqodho’ Sholat Rawatib Sebelum Subuh
Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu
berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa
yang belum mengerjakan dua rakaat sebelum sholat subuh, maka sholatlah setelah
matahari terbit“. (At-Tirmdzi 423, dan dishahihkan oleh Al-albani)
Dan dari Muhammad bin Ibrahim dari
kakeknya Qois, berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar
rumah mendatangi sholat kemudian qomat ditegakkan dan sholat subuh dikerjakan
hingga selesai, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berpaling
menghadap ma’mum, maka beliau mendapati saya sedang mengerjakan sholat, lalu
bersabda: “Sebentar wahai Qois apakah ada sholat subuh dua kali?“. Maka
saya berkata: Wahai rasulullah sungguh saya belum mengerjakan sholat sebelum
subuh, Tasulullah bersabda: “Maka tidak mengapa“. (HR. At-Tirmidzi).
Adapun pada Abu Dawud dengan lafadz: “Maka rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam diam (terhadap yang dilakukan Qois)”. (HR. At-tirmidzi no. 422,
Abu Dawud no. 1267, dan Al-Albani menshahihkannya)
As-Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah
berkata: “Barangsiapa yang masuk masjid mendapatkan jama’ah sedang sholat subuh,
maka sholatlah bersama mereka. Baginya dapat mengerjakan sholat dua rakaat
sebelum subuh setelah selesai sholat subuh, tetapi yang lebih utama adalah
mengakhirkan sampai matahari naik setinggi tombak” (Majmu’ Fatawa As-Syaikh
Muhammad bin Ibrahim 2/259 dan 260)
15. Jika Sholat Subuh Bersama Jama’ah Terlewatkan, Apakah
Mengerjakan Sholat Rawatib Terlebih Dahulu atau Sholat Subuh?
As-Syaikh Muhammad bin Utsaimin
rahimahullah berkata: “Sholat rawatib didahulukan atas sholat fardhu (subuh),
karena sholat rawatib qobliyah subuh itu sebelum sholat subuh, meskipun
orang-orang telah keluar selesai sholat berjama’ah dari masjid” (Majmu’ Fatawa
As-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsatimin 14/298)
16. Pengurutan Ketika
Mengqodho’
As-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah
berkata: “Apabila didalam sholat itu terdapat rawatib qobliyah dan ba’diyah,
dan sholat rawatib qobliyahnya terlewatkan, maka yang dikerjakan lebih dahulu
adalah ba’diyah kemudian qobliyah, contoh: Seseorang masuk masjid yang belum
mengerjakan sholat rawatib qobliyah mendapati imam sedang mengerjakan sholat
dzuhur, maka apabila sholat dzuhur telah selesai, yang pertamakali dikerjakan
adalah sholat rawatib ba’diyah dua rakaat, kemudian empat rakaat qobliyah”. (Syarh
Riyadhus Sholihin, 3/283)
17. Mengqodho’ Sholat Rawatib yang Banyak Terlewatkan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata: “Diperbolehkan mengqodho’ sholat rawatib dan selainnya, karena
merupakan sholat sunnah yang sangat dianjurkan (muakkadah)… kemudian
jika sholat yang terlewatkan sangat banyak, maka yang utama adalah mencukupkan
diri mengerjakan yang wajib (fardhu), karena mendahulukan untuk menghilangkan
dosa adalah perkara yang utama, sebagaimana “Ketika Rasulullah mengerjakan
empat sholat fardhu yang tertinggal pada perang Khondaq, beliau mengqodho’nya
secara berturut-turut”. Dan tidak ada riwayat bahwasannya Rasulullah
mengerjakan sholat rawatib diantara sholat-sholat fardhu tersebut.…. Dan jika
hanya satu atau dua sholat yang terlewatkan, maka yang utama adalah mengerjakan
semuanya sebagaimana perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada
saat sholat subuh terlewatkan, maka beliau mengqodho’nya bersama sholat
rawatib”. (Syarh Al-‘Umdah, hal. 238)
18. Menggabungkan Sholat-sholat Rawatib, Tahiyatul Masjid, dan
Sunnah Wudhu’
As-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah
berkata: “Apabila seseorang masuk masjid diwaktu sholat rawatib, maka ia bisa
mengerjakan sholat dua rakaat dengan niat sholat rawatib dan tahiyatul masjid,
dengan demikian tertunailah dengan mendapatkan keutamaan keduanya. Dan demikian
juga sholat sunnah wudhu’ bisa digabungkan dengan keduanya (sholat rawatib dan
tahiyatul masjid), atau digabungkan dengan salah satu dari keduanya”. (Al-Qawaid
Wal-Ushul Al-Jami’ah, hal. 75)
19. Menggabungkan Sholat Sebelum Subuh dan Sholat Duha Pada Waktu
Dhuha
As-Syaikh Muhammad Bin Utsaimin rahimahullah
berkata: “Seseorang yang sholat qobliyah subuhnya terlewatkan sampai matahari
terbit, dan waktu sholat dhuha tiba. Maka pada keadaan ini, sholat rawatib
subuh tidak terhitung sebagai sholat dhuha, dan sholat dhuha juga tidak
terhitung sebagai sholat rawatib subuh, dan tidak boleh juga menggabungkan
keduanya dalam satu niat. Karena sholat dhuha itu tersendiri dan sholat rawatib
subuh pun juga demikian, sehingga tidaklah salah satu dari keduanya terhitung
(dianggap) sebagai yang lainnya. (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-Utsaimin, 20/13)
20. Menggabungkan Sholat Rawatib dengan Sholat Istikharah
Dari Jabir bin Abdullah radiyallahu
‘anhuma berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
mengajarkan kami sholat istikhorah ketika menghadapi permasalahan sebagaimana
mengajarkan kami surat-surat dari Al-Qur’an”, kemudian beliau bersabda: “Apabila
seseorang dari kalian mendapatkan permasalahan, maka sholatlah dua rakaat dari
selain sholat fardhu…” (HR. Bukhori no. 1166)
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah
berkata: “Jika seseorang berniat sholat rawatib tertentu digabungkan dengan
sholat istikhorah maka terhitung sebagai pahala (boleh), tetapi berbeda jika
tidak diniatkan”. (Fathul Bari 11/189)
21. Sholat Rawatib Ketika Iqomah Sholat Fardhu Telah Dikumandangkan
Dari Abu Huroiroh radiyallahu
‘anhu, dari nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila
iqomah sholat telah ditegakkan maka tidak ada sholat kecuali sholat fardhu“.
(HR. Muslim bi As-syarh An-Nawawi 5/222)
An-Nawawi berkata: “Hadits ini
terdapat larangan yang jelas dari mengerjakan sholat sunnah setelah iqomah
sholat dikumandangkan sekalipun sholat rawatib seperti rawatib subuh, dzuhur,
ashar dan selainnya” (Al-Majmu’ 3/378)
22. Memutus Sholat Rawatib Ketika Sholat Fardhu ditegakkan
As-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah
berkata: “Apabila sholat telah ditegakkan dan ada sebagian jama’ah sedang
melaksanakan sholat tahiyatul masjid atau sholat rawatib, maka disyari’atkan
baginya untuk memutus sholatnya dan mempersiapkan diri untuk melaksanakan
sholat fardhu, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Apabila
iqomah sholat telah ditegakkan maka tidak ada sholat kecuali sholat fardhu..“,
akan tetapi seandainya sholat telah ditegakkan dan seseorang sedang berada pada
posisi rukuk dirakaat yang kedua, maka tidak ada halangan bagi dia untuk
menyelesaikan sholatnya. Karena sholatnya segera berakhir pada saat sholat
fardhu baru terlaksana kurang dari satu rakaat”. (Majmu’ Fatawa 11/392
dan 393)
23. Apabila Mengetahui Sholat Fardhu Akan Segera Ditegakkan, Apakah
Disyari’atkan Mengerjakan Sholat Rawatib?
As-Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
berkata: “Sudah seharusnya (mengenai hal ini) dikatakan: “Sesungguhnya tidak
dianjurkan mengerjakan sholat rawatib diatas keyakinan yang kuat bahwasannya
sholat fardhu akan terlewatkan dengan mengerjakannya. Bahkan meninggalkannya
(sholat rawatib) karena mengetahui akan ditegakkan sholat bersama imam dan
menjawab adzan (iqomah) adalah perkara yang disyari’atkan. Karena menjaga
sholat fardhu dengan waktu-waktunya lebih utama daripada sholat sunnah rawatib
yang bisa dimungkinkan untuk diqodho'”. (Syarh Al-‘Umdah, hal. 609)
24. Mengangkat Kedua Tangan Untuk Berdo’a Setelah Menunaikan Sholat
Rawatib
As-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah
berkata: “Sholat Rawatib: Saya tidak mengetahui adanya larangan dari mengangkat
kedua tangan setelah mengerjakannya untuk berdo’a, dikarenakan beramal dengan
keumuman dalil (akan disyari’atkan mengangkat tangan ketika berdo’a). Akan
tetapi lebih utama untuk tidak melakukannya terus-menerus dalam hal itu
(mengangkat tangan), karena tidaklah ada riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam mengerjakan demikian, seandainya beliau melakukannya
setiap selesai sholat rawatib pasti akan ada riwayat yang dinisbahkan kepada
beliau. Padahal para sahabat meriwayatkan seluruh perkataan-perkataan dan
perbuatan-perbuatan rasulullah baik ketika safar maupun tidak. Bahkan seluruh
kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat radiyallahu
‘anhum tersampaikan”. (Arkanul Islam, hal. 171)
25. Kapan Sholat Rawatib Ketika Sholat Fardhu DiJama’?
Imam Nawawi rahimahullah
berkata: “Sholat rawatib dikerjakan setelah kedua sholat fardhu dijama’ dan
tidak boleh dilakukan di antara keduanya. Dan demikian juga sholat rawatib
qobliyah dzuhur dikerjakan sebelum kedua sholat fardhu dijama'”. (Shahih
Muslim Bi Syarh An-Nawawi, 9/31)
26. Apakah Mengerjakan Sholat Rawatib Atau Mendengarkan Nasihat?
Dewan Tetap untuk Penelitian Ilmiyah
dan Fatwa Saudi: “Disyariatkan bagi kaum muslimin jika mendapatkan nasihat
(kultum) setelah sholat fardhu hendaknya mendengarkannya, kemudian setelahnya
ia mengerjakan sholat rawatib seperti ba’diyah dzuhur, maghbrib dan ‘isya” (Fatawa
Al-Lajnah Ad-Daimah LilBuhuts Al-‘Alamiyah Wal-Ifta’, 7/234)
27. Mendahulukan Menyempurnakan Dzikir-dzikir setelah Sholat Fardhu
Sebelum Menunaikan Sholat Rawatib
As-Syaikh Abdullah bin Jibrin rahimahullah
ditanya: “Apabila saya mengerjakan sholat jenazah setelah maghrib, apakah saya
langsung mengerjakan sholat rawatib setelah selesai sholat jenazah ataukah
menyempurnakan dzikir-dzikir kemudian sholat rawatib?
Jawaban beliau rahimahullah:
“Yang lebih utama adalah duduk untuk menyempurnakan dzikir-dzikir kemudian
menunaikan sholat rawatib. Maka perkara ini disyariatkan baik ada atau tidaknya
sholat jenazah. Maka dzikir-dzikir yang ada setelah sholat fardhu merupakan
sunnah yang selayaknya untuk dijaga dan tidak sepantasnya ditinggalkan. Maka
jika anda memutus dzikir tersebut karena menunaikan sholat jenazah, maka
setelah itu hendaknya menyempurnakan dzikirnya ditempat anda berada, kemudian
mengerjakan sholat rawatib yaitu sholat ba’diyah. Hal ini mencakup rawatib ba’diyah
dzuhur, maghrib maupun ‘isya dengan mengakhirkan sholat rawatib setelah
berdzikir”. (Al-Qoul Al-Mubin fii Ma’rifati Ma Yahummu Al-Mushollin,
hal. 471)
28. Tersibukkan Dengan Memuliakan Tamu Dari Meninggalkan Sholat
Rawatib
As-Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah
berkata: “Pada dasarnya seseorang terkadang mengerjakan amal yang kurang afdhol
(utama) kemudian melakukan yang lebih afdhol (yang semestinya didahulukan)
dengan adanya sebab. Maka seandainya seseorang tersibukkan dengan memuliakan
tamu di saat adanya sholat rawatib, maka memuliakan tamu didahulukan daripada
mengerjakan sholat rawatib”. (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Muhammad bin Sholih
Al-Utsaimin 16/176)
29. Sholatnya Seorang Pekerja Setelah Sholat Fardhu dengan Rawatib
Maupun Sholat Sunnah lainnya.
As-Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah
berkata: “Adapun sholat sunnah setelah sholat fardhu yang bukan rawatib maka
tidak boleh. Karena waktu yang digunakan saat itu merupakan bagian dari waktu
kerja semisal aqad menyewa dan pekerjaan lain. Adapun melakukan sholat rawatib
(ba’da sholat fardhu), maka tidak mengapa. Karena itu merupakan hal yang biasa
dilakukan dan masih dimaklumi (dibolehkan) oleh atasannya”.
30. Apakah Meninggalkan Sholat Rawatib Termasuk Bentuk Kefasikan?
As-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah
berkata: “Perkataan sebagian ulama': (Sesungguhnya meninggalkan sholat rawatib
termasuk fasiq), merupakan perkataan yang kurang baik, bahkan tidak benar.
Karena sholat rawatib itu adalah nafilah (sunnah). Maka barangsiapa yang menjaga
sholat fardhu dan meninggalkan maksiat tidaklah dikatakan fasik bahkan dia
adalah seorang mukmin yang baik lagi adil. Dan demikian juga sebagian perkataan
fuqoha': (Sesungguhnya menjaga sholat rawatib merupakan bagian dari syarat adil
dalam persaksian), maka ini adalah perkataan yang lemah. Karena setiap orang
yang menjaga sholat fardhu dan meninggalkan maksiat maka ia adalah orang yang
adil lagi tsiqoh. Akantetapi dari sifat seorang mukmin yang sempurna selayaknya
bersegera (bersemangat) untuk mengerjakan sholat rawatib dan perkara-perkara
baik lainnya yang sangat banyak dan berlomba-lomba untuk mengerjakannya”. (Majmu’
Fatawa 11/382)
(Yang dimaksud adalah artikel
tersebut: http://fdawj.atspace.org/awwb/th2/14.htm (pen.))
Faedah:
Ibmu Qoyyim rahimahullah berkata: “Terdapat kumpulan sholat-sholat dari tuntunan nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sehari semalam sebanyak 40 rakaat, yaitu dengan menjaga 17 rakaat dari sholat fardhu, 10 rakaat atau 12 rakaat dari sholat rawatib, 11 rakaat atau 13 rakaat sholat malam, maka keseluruhannya adalah 40 rakaat. Adapun tambahan sholat selain yang tersebutkan bukanlah sholat rawatib…..maka sudah seharusnyalah bagi seorang hamba untuk senantiasa menegakkan terus-menerus tuntunan ini selamanya hingga menjumpai ajal (maut). Sehingga adakah yang lebih cepat terkabulkannya do’a dan tersegeranya dibukakan pintu bagi orang yang mengetuk sehari semalam sebanyak 40 kali? Allah-lah tempat meminta pertolongan”. (Zadul Ma’ad 1/327)
Ibmu Qoyyim rahimahullah berkata: “Terdapat kumpulan sholat-sholat dari tuntunan nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sehari semalam sebanyak 40 rakaat, yaitu dengan menjaga 17 rakaat dari sholat fardhu, 10 rakaat atau 12 rakaat dari sholat rawatib, 11 rakaat atau 13 rakaat sholat malam, maka keseluruhannya adalah 40 rakaat. Adapun tambahan sholat selain yang tersebutkan bukanlah sholat rawatib…..maka sudah seharusnyalah bagi seorang hamba untuk senantiasa menegakkan terus-menerus tuntunan ini selamanya hingga menjumpai ajal (maut). Sehingga adakah yang lebih cepat terkabulkannya do’a dan tersegeranya dibukakan pintu bagi orang yang mengetuk sehari semalam sebanyak 40 kali? Allah-lah tempat meminta pertolongan”. (Zadul Ma’ad 1/327)
Lembaran singkat ini saya ringkas
dari sebuah buku yang saya tulis sendiri berjudul “Hukum-hukum Sholat Sunnah
Rawatib”.
Dan sholawat serta salam kepada nabi
kita muhammad shallalllahu ‘alaihi wasallam dan keluarganya serta para
sahabatnya. Amiin
Ummul Hamaam, 1 Ramadhan 1431 H
—
Penulis: As-Syaikh Abdullah bin
Za’li Al-‘Anziy
Sumber: Buletin Darul Qosim (www.dar-alqassem.com)
Penerjemah: Abu Ahmad Meilana Dharma
Putra
Muroja’ah: Al-Ustadz Abu Raihana,
MA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar